Mari coba kita bayangkan sejenak, ada sebuah desa dengan potensi yang luar biasa, lahan terhampar sangat luas, hasil tani juga melimpah, bahkan wisata alam yang menjanjikan. Tapi anehnya, desa itu tetap stagnan. BUMDes-nya terbentuk hanya di atas kertas, papan nama berdiri megah, namun isinya kosong. Usaha jalan di tempat, laporan tak jelas, dan masyarakat tetap tak merasakan manfaatnya. Siapa yang salah?
BUMDes: Mimpi Besar yang Terancam Jadi Slogan Kosong
Program Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dicanangkan sebagai mesin penggerak ekonomi desa, sebuah solusi agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton dalam program pembangunan. Lewat BUMDes, desa didorong mandiri—tidak melulu menanti bantuan pusat atau kabupaten. Tapi fakta di lapangan sangat jauh dari ekspektasi. Banyak BUMDes mati suri, bahkan sebagian sudah "dikubur" sebelum benar-benar hidup.
Dan salah satu akar persoalannya adalah Sumber Daya Manusia (SDM).
SDM Lemah: Luka Lama yang Terus Terulang
BUMDes bukan sekadar membentuk struktur organisasi dan membuka usaha. Ia butuh orang-orang dengan pemahaman bisnis, transparansi, manajemen keuangan, hingga kemampuan adaptif terhadap pasar. Namun, banyak pengelolanya justru dipilih bukan karena kompetensi, melainkan karena faktor kedekatan.
Dan berikut ini fakta-fakta di lapangan:
- Pengelola tidak memahami laporan keuangan dasar.
- Tidak ada pelatihan lanjutan setelah pembentukan BUMDes.
- Ketidaktahuan terhadap regulasi dan strategi bisnis desa.
- Manajemen yang tidak profesional, bahkan cenderung asal-asalan.
- Akibatnya? Modal habis, usaha mandek, kepercayaan masyarakat runtuh.
Bukan Cuma Salah SDM, Tapi Sistem yang Dibiarkan Gagal
Bukan berarti semua salah pengelola. Banyak dari mereka adalah orang-orang yang niat belajar, tapi tidak diberi ruang dan dukungan yang cukup. Pemerintah daerah kadang hanya fokus pada pendirian BUMDes, bukan pada penguatan pasca pembentukan. Pelatihan hanya bersifat formalitas, tanpa pendampingan yang berkelanjutan.
Apalagi dengan laporan penggunaan Dana Desa yang kadang lebih menekankan pada penyerapan anggaran, bukan pada keberhasilan dampak ekonomi.
Perlu Revolusi Mental dan Strategi Baru
Kalau BUMDes ingin benar-benar menjadi tulang punggung ekonomi desa, maka:
- Rekrutmen pengelola harus berbasis kompetensi, bukan kedekatan.
- Pemerintah harus menyiapkan program pelatihan yang berkualitas dan berkelanjutan.
- Masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan dan pengambilan keputusan.
- BUMDes harus belajar dari sektor swasta: profesionalisme adalah kunci.
Sudah saatnya desa tidak lagi jadi objek pembangunan, tapi aktor utama. Dan itu hanya bisa tercapai jika orang-orang di dalamnya tahu apa yang mereka kerjakan.
Penutup: Harapan yang Masih Ada
BUMDes bukan program gagal. Ia hanya belum dikelola oleh tangan yang tepat. Potensinya masih besar, asalkan ada keberanian untuk mengakui kelemahan dan membenahi dari akar. Mari berhenti menutup-nutupi. Saatnya BUMDes dibangkitkan oleh orang-orang yang benar-benar ingin memajukan desa, bukan sekadar mencari jabatan.
Abdi Karo Bersuara, karena suara desa juga pantas didengar.
Posting Komentar untuk " BUMDes Mati Suri: Ketika Program Hebat Jatuh di Tangan yang Salah"